Etika dan Kerangka Hukum Bidang Teknologi Informasi
Oleh Inansyah
Widyaiswara Pertama pada Balai Diklat Keagamaan Padang
ABSTRAK
Etika secara
umum didefinisikan sebagai suatu kepercayaan atau pemikiran yang
mengisi suatu individu, yang keberadaanya bisa dipertanggung jawabkan
terhadap masyarakat atas perilaku yang diperbuat. Biasanya pengertian
etika akan berkaitan dengan masalah moral.
Kriminalitas siber (Cybercrime) atau kriminalitas di internet adalah tindak pidana kriminal yang dilakukan pada teknologi internet (cyberspace), baik yang menyerang fasilitas umum di dalam cyberspace atupun kepemilikan pribadi. Secara teknis tindak pidana tersebut dapat dibedakan menjadi off-line crime, semi on-line crime, dan cybercrime.
Kata Kunci : Etika, Kerangka Hukum dan Teknologi Informasi.
Pendahuluan
Didalam organisasi modern, dan dalam bahasan ekonomis secara luas, informasi telah menjadi
komoditas yang sangat berharga, dan telah berubah dan dianggap sebagai
sumber daya habis pakai, bukannya barang bebas. Dalam suatu organisasi
perlu dipertimbangkan bahwa informasi memiliki karakter yang multivalue, dan multidimensi.
Dari sisi pandangan teori sistem, informasi memungkinkan kebebasan
beraksi, mengendalikan pengeluaran, mengefisiensikan pengalokasian
sumber daya dan waktu. Sirkulasi informasi yang terbuka dan bebas
merupakan kondisi yang optimal untuk pemanfaatan informasi. Selain
dampak positif dari kehadiran teknologi informasi pada berbagai bidang
kehidupan, pemakaian teknologi informasi bisa mengakibatkan atau
menimbulkan dampak negatif bagi pengguna atau pelaku bidang teknologi
informasi itu sendiri, maupun bagi masyarakat luas yang secara tidak
langsung berhubungan dengan teknologi informasi tersebut.
Etika Penggunaan Teknologi Informasi
Etika secara
umum didefinisikan sebagai suatu kepercayaan atau pemikiran yang
mengisi suatu individu, yang keberadaanya bisa dipertanggung jawabkan
terhadap masyarakat atas perilaku yang diperbuat. Biasanya pengertian
etika akan berkaitan dengan masalah moral.
Moral adalah
tradisi kepercayaan mengenai perilaku benar dan salah yang diakui oleh
manusia secara universal. Perbedaanya bahwa etika akan menjadi berbeda
dari masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Sebuah survei
menyebutkan bahwa penggunaan software bajakan yang berkembang di Asia
saat ini bisa mencapai lebih dari 90 %, sedangkan di Amerika kurang dari
35 %. Ini bisa dikatakan bahwa masyarakat pengguna software di Asia
kurang
etis di banding di Amerika. Contoh lain misalnya kita melihat data
orang lain atau perusahaan lain yang menjadi rahasianya, berarti kita
bertindak kurang etis.
Pentingnya Etika Komputer
Menurut James moor, terdapat tiga alasan utama minat masyarakat yang tinggi pada etika komputer, yaitu :• Kelenturan Logika, • Faktor Transformasi dan• Faktor tak kasat mata.
HAK-HAK ATAS INFORMASI /KOMPUTER
Hak Sosial dan Komputer
Menurut
Deborah Johnson, Profesor dari Rensselaer Polytechnic Institute
mengemukakan bahwa masyarakat memiliki : Hak atas akses komputer, Hak
atas keahlian komputer, Hak atas spesialis komputer dan Hak atas pengambilan keputusan komputer.
Hak Atas Informasi
Menurut
Richard O. Masson, seorang profesor di Southern Methodist University,
telah mengklasifikasikan hak atas informasi berupa : Hak atas privasi, Hak atas akurasi, Hak atas kepemilikan. Dan Hak atas akses.
Kontrak Sosial Jasa Informasi
Untuk
memecahkan permasalahan etika komputer, jasa informasi harus masuk ke
dalam kontrak sosial yang memastikan bahwa komputer akan digunakan untuk
kebaikan sosial. Jasa informasi membuat kontrak tersebut dengan
individu dan kelompok yang menggunakan atau yang dipengaruhi oleh output
informasinya. Kontrak tersebut tidak tertulis tetapi tersirat dalam
segala sesuatu yang dilakukan jasa informasi. Kontrak tersebut
menyatakan bahwa Komputer tidak akan digunakan dengan sengaja untuk menggangu privasi orang, Setiap ukuran akan dibuat untuk memastikan akurasi pemrosesan data, Hak milik intelektual akan dilindungi.
Etika IT di Perusahaan
Sangat penting penerapan etika dalam penggunaan teknologi informasi (information technology/IT)
di perusahaan. Etika tersebut akan mengantarkan keberhasilan perusahaan
dalam proses pengambilan keputusan manajemen. Kegagalan pada penyajian
informasi akan berakibat resiko kegagalan pada perusahaan. Penerapan
etika teknologi informasi dalam perusahaan harus dimulai dari dukungan
pihak top manajemen terutama pada chief Information Officer (CIO).
Kekuatan yang dimiliki CIO dalam menerapkan etika IT pada perusahaannya
sangat dipengaruhi akan kesadaran hukum, budaya etika, dan kode etik
profesional oleh CIO itu sendiri.
Kriminalitas di Internet (Cybercrime)
Kriminalitas siber (Cybercrime) atau kriminalitas di internet adalah tindak pidana kriminal yang dilakukan pada teknologi internet (cyberspace), baik yang menyerang fasilitas umum di dalam cyberspace atupun kepemilikan pribadi. Secara teknis tindak pidana tersebut dapat dibedakan menjadi off-line crime, semi on-line crime, dan cybercrime. Masing-masing memiliki karakteristikter sendiri,
namun perbedaan utama diantara ketiganya adalah keterhubungan dengan
jaringan informasi publik (baca: internet). Cybercrime merupakan
perkembangan lebih lanjut dari kejahatan atau tindak pidana yang
dilakukan dengan memanfaatkan teknologi komputer. Fenomena cybercrime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini agak berbeda dengan kejahatan lain pada umumnya Cybercrime dapat
dilakukan tanpa mengenal batas teritorial dan tidak diperlukan
interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan.Kejahatan yang
terjadi di internet terdiri dari berbagai macam jenis dan cara yang bisa
terjadi. Menurut motifnya kejahatan di internet dibagi menjadi dua
motif yaitu :
• Motif Intelektual. Yaitu kejahatan yang dilakukan hanya untuk kepuasan diri pribadi dan menunjukkan bahwa dirinya telah mampu untuk merekayasa dan mengimplementasikan bidang teknologi informasi.
• Motif ekonomi, politik, dan kriminal.
Yaitu kejahatan yang dilakukan untuk keuntungan pribadi atau golongan
tertentu yang berdampak pada kerugian secara ekonomi dan politik pada
pihak lain.
Kejahatan komputer juga dapat ditinjau dalam ruang lingkup sebagai berikut:
Ø Pertama, komputer sebagai instrumen untuk melakukan kejahatan tradisional,
Ø Kedua,
komputer dan perangkatnya sebagai objek penyalahgunaan, dimana
data-data didalam komputer yang menjadi objek kejahatan dapat saja
diubah, dimodifikasi, dihapus atau diduplikasi secara tidak sah.
Ø Ketiga, Penyalahgunaan yang berkaitan dengan komputer atau data,
Ø Keempat, adalah unauthorized acquisition, disclosure or use of information and data, yang berkaitan dengan masalah penyalahgunaan hak akses dengan cara-cara yang ilegal.
Menurut Bainbridge (1993) dalam bukunya Komputer dan Hukum membagi beberapa macam kejahatan dengan menggunakan sarana komputer :
· Memasukkan instruksi yang tidak sah,
· Perubahan data input,
· Perusakan data, hal ini terjadi terutama pada data output,
· Komputer sebagai pembantu kejahatan,
· Akses tidak sah terhadap sistem komputer atau yang dikenal dengan hacking.
Bernstein (1996) menambahkan ada beberapa keadaan di Internet yang dapat terjadi sehubungan lemahnya sistem keamanan antara lain:
o Password seseorang dicuri ketika terhubung ke sistem jaringan dan ditiru atau digunakan oleh si pencuri.
o Jalur komunikasi disadap dan rahasia perusahaan pun dicuri melalui jaringan komputer.
o Sistem Informasi dimasuki (penetrated) oleh pengacau (intruder).
o Server jaringan dikirim data dalam ukuran sangat besar (e-mail bomb) sehingga sistem macet.
Selain itu ada tindakan menyangkut masalah kemanan berhubungan dengan lingkungan hukum:
· Kekayaan Intelektual (intellectual property) dibajak.
· Hak cipta dan paten dilanggar dengan melakukan peniruan dan atau tidak membayar royalti.
· Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan teknologi tertentu.
· Dokumen rahasia disiarkan melalui mailing list atau bulletin boards.
· Pegawai menggunakan Internet untuk tindakan a-susila seperti pornografi.
Kerangka Hukum Bidang Teknologi Informasi
Dampak
negatif yang serius karena berkembangnya teknologi informasi terutama
teknologi internet harus segera ditangani dan ditanggulangi dengan
segala perangkat yang mungkin termasuk perangkat perundangan yang bisa
mengendalikan kejahatan dibidang teknologi informasi. Sudah saatnya
bahwa hukum yang ada harus bisa mengatasi penyimpangan penggunaan
perangkat teknologi informasi sebagai alat bantunya, terutama kejahatan
di internet (cybercrime) dengan menerapkan hukum siber (cyberlaw).
Pendapat tentang Cyberlow
Munculnya
kejahatan diinternet pada awalnya banyak terjadi pro-kontra terhadap
penerapan hukum yang harus dilakukan. Hal ini direnakan saat itu sulit
untuk menjerat secara hukum para pelakunya karena beberapa alasan.
Alasan yang menjadi kendala seperti sifat kejahatannya bersifat maya,
lintas negara, dan sulitnya menemukan pembuktian. Hukum yang ada saat
itu yaitu hukum tradisional banyak memunculkan pro-kontra, karena harus
menjawab pertanyaan bisa atau tidaknya sistem hukum tradisional mengatur
mengenai aktivitas-aktivitas yang dilakukan di Internet.
Mas Wigrantoro dalam
naskah akademik tentang RUU bidang Teknologi Informasi menyebutkan,
terdapat dua kelompok pendapat dalam menjawab pertanyaan ini, yaitu : –
Kelompok pertama berpendapat bahwa hingga saat ini belum ada perundangan
yang mengatur masalah kriminalitas penggunaan Teknologi Informasi
(cybercrime), dan oleh karenanya jika terjadi tindakan kriminal di dunia
cyber sulit bagi aparat penegak hukum untuk menghukum pelakunya. –
Kelompok kedua beranggapan bahwa tidak ada kekosongan hukum, oleh
karenanya meski belum ada undang – undang yang secara khusus mengatur
masalah cybercrime, namun demikian para penegak hukum dapat menggunakan
ketentuan hukum yang sudah ada. Pendapat dua kelompok di atas mendorong
diajukannya tiga alternatif pendekatan dalam penyediaan
perundang-udangan yang mengatur masalah kriminalitas Teknologi
Informasi, yaitu :– Alternatif pertama adalah dibuat suatu Undang –Undang khusus yang mengatur masalah Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi – Alternatif kedua,
memasukkan materi kejahatan Teknologi Informasi ke dalam amandemen KUHP
yang saat ini sedang digodok oleh Tim Departemen Kehakiman dan HAM, – Alternatif ketiga, melakukan amandemen terhadap semua undang – undang yang diperkirakan akan berhubungan dengan pemanfaatan.
Prinsip dan Pendekatan Hukum
Istilah hukum siber diartikan sebagai padanan kata dari Cyber Law,
yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang
terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga
digunakan adalah hukum Teknologi Informasi (Law of Information Technology) Hukum Dunia Maya (Virtual World Law)
dan Hukum Maya antara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat
kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual.
Dalam ruang siber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat
karena hukum dan pengadilan Indonesia belum memiliki yurisdiksi terhadap
pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum
bersifat transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum
di Indonesia. Dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis jurisdiksi,
yaitu :– jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe),– jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan – jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Instrumen Internasional di Bidang Cybercrime Uni Eropa
Instrumen
Hukum Internasional publik yang mengatur masalah Kejahatan siber yang
saat ini paling mendapat perhatian adalah Konvensi tentang Kejahatan
siber (Convention on Cyber Crime) 2001 yang digagas oleh Uni Eropa. Konvensi ini meskipun pada awalnya dibuat oleh
organisasi
Regional Eropa, tetapi dalam perkembangannya dimungkinkan untuk
diratifikasi dan diaksesi oleh negara manapun didunia yang memiliki
komitmen dalam upaya mengatasi kejahatan Siber. Substansi konvensi
mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional.
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
Sidang
Umum PBB pada tanggal 4 Desember 2000 menandatangani Resolusi 55/63
yang berisi tentang memerangi tindakan kriminal penyalah- gunaan
Teknologi Informasi, Butir – butir Resolusi yang selanjutnya menandai
dimulainya perhatian dunia terhadap masalah kejahatan Teknologi
Informasi.
Asia Pacific Economy Cooperation (APEC )
Menindak-lanjuti
Resolusi PBB 55/63 tersebut di atas para pemimpin ekonomi yang
tergabung dalam organisasi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC)
sepakat membentuk APEC Cybercrime Strategy yang bertujuan mengupayakan
secara bersama keamanan Internet (cybersecurity) dan mencegah
serta menghukum pelaku cybercrime. Selanjutnya diminta kepada para
pemimpin anggota APEC agar membentuk unit – unit pengamanan yang
bertugas memerangi kejahatan cybercrime, serta menunjuk personalia yang
bertugas sebagai point of contact dalam kerja sama internasional memerangi cybercrime.
Ruang Lingkup Cyber Law
Perspektif Cyber low dalam Hukum Indonesia
Dilihat
dari kejadian-kejadian kriminalitas internet dan begitu berkembangnya
pemakaian atau emanfaaatan di Indonesia maupun di dunia Internasional,
sudah saatnya pemerintah Indonesia menerapkan cyber law sebagai prioritas utama. Urgensi cyber law bagi
Indonesia terletak pada keharusan Indonesia untuk mengarahkan
transaksitransaksi lewat Internet saat ini agar sesuai dengan standar
etik dan hukum yang disepakati dan keharusan untuk meletakkan dasar
legal dan kultural bagi masyarakat Indonesia untuk masuk dan menjadi
pelaku dalam masyarakat informasi.Pemerintah Indonesia baru saja
mengatur masalah HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual), No 19 tahun 2002.
Namun undang-undang tersebut berfokus pada persoalan perlindungan
kekayaan intelektual saja. Ini terkait dengan persoalan tingginya kasus
pembajakan piranti lunak di negeri ini. Kehadiran UU tersebut tentu
tidak lepas dari desakan negara-negara produsen piranti lunak itu
berasal. Begitu juga dengan dikeluarkannya UU hak patent yang diatur
dalam UU no 14 tahun 2001, yang mengatur hak eksklusif yang diberikan
oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi,
yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya
tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya. Terlepas dari masalah itu, sebenarnya kehadiran
cyberlaw yang langsung memfasilitasi eCommerce, eGovernment dan
cybercrime sudah sangat diperlukan.
Perundangan Pemanfaatan Teknologi Informasi di Indonesia
Dalam
RUU pemanfaatan teknologi informasi di Indonesia telah dibahas berbagai
aturan pemanfaatan teknologi informasi atau internet di berbagai sektor
atau bidang. Aturan ini dibuat karena kemunculan sejumlah kasus yang
cukup fenomenal di dunia internet yang telah mendorong dan mengukuhkan
internet sebagai salah satu institusi dalam arus utama (mainstream) budaya
dunia saat ini. Munculnya perundangan pemanfaatan teknologi informasi
kerena didorong peritmbangan-pertimbangan seperti; pertumbuhan teknologi
informasi yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat; globalisasi
informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan pemanfaatan
teknologi informasi di tingkat nasional sebagai jawaban atas
perkembangan yang terjadi baik di tingkat regional maupun
internasional.Pengaturan pemanfaatan teknologi informasi harus
dilaksanakan dengan tujuan untuk :– mendukung persatuan dan kesatuan
bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari
masyarakat informasi dunia;– mendukung perkembangan perdagangan dan
perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan pertumbuhan ekonomi nasional; – mendukung efektivitas komunikasi
dengan memanfaatkan secara optimal teknologi informasi untuk tercapainya
keadilan dan kepastian hukum; – memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada setiap orang untuk mengembangkan pemikiran dan kemampuannya di
bidang teknologi informasi secara bertanggung jawab dalam rangka
menghadapi perkembangan teknologi informasi dunia.
Dalam RUU pemanfaatan teknologi kegiatan yang diatur meliputi :
– Perdagangan elektronik (e-commerce)
– Perbankan elektronik (e-banking)
– Pemerintahan elektronik (e-government)
– Pelayanan kesehatan elektronik (e-hospital)
– Pemberian nama domain (Domain NameServices/DNS)
Selain
itu aturan-aturan lain yang berhubungan dengan hal diatas seperti hak
kekayaan intelektual, hak atas kerahasiaan informasi, perlindungan
hak-hak pribadi, perpajakan, penyelesaian sengketa, yuridiksi,
penyidikan, dan tindak pidana diatur dalam perundangan lain seperti
adanya hak paten, HAKI, dan RUUTIPITI (Tindak Pidana Teknologi
Informasi)
Implementasi Hukum Teknologi Informasi di Indonesia
Undang – Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi (UU-TIPITI) dibuat dengan
tujuan
untuk mendukung ketertiban pemanfaatan Teknologi Informasi yang
digunakan oleh orang berkewarga-negaraan Indonesia, dan atau badan hukum
yang berkedudukan di Indonesia, orang asing, atau badan hukum asing
yang melakukan kegiatan atau transaksi dengan orang, atau badan hukum
yang lahir dan berkedudukan di Indonesia, dengan tetap menjunjung tinggi
hukum Indonesia dan hak asasi manusia, tidak diskriminatif baik
berdasarkan suku, agama, ras maupun antar golongan. Pembuktian
Cybercrime Alat bukti yang bisa digunakan dalam penyidikan selain alat
bukti yang sudah diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, catatan
elektronik yang tersimpan dalam sistem komputer merupakan alat bukti
yang sah. Catatan elektronik tersebut yang akan dijadikan alat bukti sah
di pengadilan wajib dikumpulkan oleh penyidik dengan mengikuti prosedur
sesuai ketentuan yangberlaku. Selain catatan elektronik, maka dapat
digunakan sebagai alat bukti meliputi :• Informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik atau yang serupa
dengan itu. dan Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca
dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan
suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun
selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada : Tulisan, suara atau gambar; Peta, rancangan, foto
atau sejenisnya; Huruf, tanda, angka, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
membaca atau memahaminya; Alat bukti elektronik, khususnya yang berwujud
perangkat lunak diperoleh dengan cara penggandaan dari lokasi asalnya
dengan cara tertentu tanpa merusak struktur logika program.
Kesimpulan
1. Pemakaian
teknologi informasi bisa mengakibatkan atau menimbulkan dampak negatif
bagi pengguna atau pelaku bidang teknologi informasi itu sendiri, maupun
bagi masyarakat luas yang secara tidak langsung berhubungan dengan
teknologi informasi tersebut.
2. Pemerintah
Indonesia baru saja mengatur masalah HaKI (Hak atas Kekayaan
Intelektual), No 19 tahun 2002. Namun undang-undang tersebut berfokus
pada persoalan perlindungan kekayaan intelektual saja. Ini terkait
dengan persoalan tingginya kasus pembajakan piranti lunak di negeri ini.
3. Undang
– Undang Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi (UU-TIPITI) dibuat
dengan tujuan untuk mendukung ketertiban pemanfaatan Teknologi
Informasi yang digunakan oleh orang berkewarga-negaraan Indonesia, dan
atau badan hukum yang berkedudukan di Indonesia, orang asing, atau badan
hukum asing yang melakukan kegiatan atau transaksi dengan orang, atau
badan hukum yang lahir dan berkedudukan di Indonesia, dengan tetap
menjunjung tinggi hukum Indonesia dan hak asasi manusia, tidak
diskriminatif baik berdasarkan suku, agama, ras maupun antar golongan.